Upaya kami membangun gerakan literasi di Aceh untuk Indonesia. Kami terbitkan majalah POTRET dan majalah Anak Cerdas serta www.potret-online.com untuk menampung hasil kreativitas dari masyarakat, terutama perempuan dan anak-anak. Oleh sebab itu, kami terus mengajak, memotivasi masyarakat untuk aktif berkarya. Kami publikasikan di media sosial, kunjungan ke sekolah dan berbagai cara dan tak pernah henti mengajak untuk membangun dan merawat literasi. Kami berharap anda semua mau bersama kami, membangun generasi yang melek literasi.
POTRET Galery
Kamis, 18 Februari 2016
Membangun dan Merawat Literasi
Upaya kami membangun gerakan literasi di Aceh untuk Indonesia. Kami terbitkan majalah POTRET dan majalah Anak Cerdas serta www.potret-online.com untuk menampung hasil kreativitas dari masyarakat, terutama perempuan dan anak-anak. Oleh sebab itu, kami terus mengajak, memotivasi masyarakat untuk aktif berkarya. Kami publikasikan di media sosial, kunjungan ke sekolah dan berbagai cara dan tak pernah henti mengajak untuk membangun dan merawat literasi. Kami berharap anda semua mau bersama kami, membangun generasi yang melek literasi.
Kamis, 23 Juli 2015
ANCAMAN SISTEMIK INDONESIA
ANCAMAN SISTEMIK INDONESIA
Oleh Tabrani Yunis
Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh
Indonesia kini, paling kurang
berhadapan dua ancaman besar terkait narkoba. Ancaman pertama adalah ancaman terhadap upaya penegakan hukum terhadap para
narapidana narkoba. Saat ini pemerintah Indonesia dihadapkan pada dilemma
penegakam hukum mati terhadap Bandar narkoba yang sudah ditetapkan dengan
hukuman mati. Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo menolak memberikan grasi
kepada 64 narapidana narkoba. Dengan ditolaknya grasi oleh Jokowi tersebut,
berarti ke 64 narapidana narkoba tersebut terancam dihukum mati dengan hanya
menanti kapan pelaksanaan eksekusi dilakukan. Akibatnya, beberapa kepala Negara
meradang dan memberikan reaksi keras. Perdana Menteri Australia, John Abbot
mengeluarkan pernyataan yang tidak ubahnya berharap Pemerintah Indonesia
menjalankan politik balas budi, karena Australia pernah membantu rehab dan
rekon Aceh pasca tsunami. Begitu pula sikap Pemerintah Brasil yang kecewa
terhadap keputusan hukuman mati
tersebut. Presiden Brasil, Dilma Roussef
menolak nota kepercayaan Duta Besar
Indonesia untuk Brasil, Toto Riyanto, yang menyebabkan hubungan diplomasi
kediua Negara dalam keadaan memanas.
Uni Eropa juga menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk
tidak meneruskan eksekusi mati terhadap terpidana lain dan mempertimbangkan
moratorium hukuman mati sebagai langkah awal menuju penghapusan hukuman mati
secara menyeluruh. ( Tempo.co, 25 Februari 2015). Senada dengan sikap yang
diambil Uni Eropa, Duta Besar Jerman untuk Indonesia, Georg Witschel, juga
meminta Indonesia menghentikan eksekusi. "Jerman, seperti seluruh anggota
Uni Eropa lainnya, menentang diberlakukannya hukuman mati. Hal itu tidak
efektif dalam menurunkan angka kejahatan. Terutama dalam kasus pelanggaran
narkotik," kata Witschel lewat akun Facebook Kedutaan Besar Jerman di
Jakarta, Jumat.
Dari kalangan
organisasi/ lembaga dan aktivis hak asasi manusia. Aktivis HAM internasional, Human Rights Watch, menuding
Indonesia memberlakukan standar ganda soal hukuman mati. "Pemerintah
Indonesia yang mengejar grasi bagi Ahmad di Arab Saudi sementara terus
memberlakukan hukuman mati adalah kemunafikan terhadap hak untuk hidup,"
kata HRW yang menyebutkan pengampunan yang diupayakan Indonesia terhadap
Satinah binti Jumadi Ahmad, TKI yang diganjar hukuman mati pada 2010, dan
berhasil dibebaskan pada 2014. (Tempo.co 25/02/15).
Di dalam negeri, sejumlah aktivis dan organisasi yang bekerja
di isu HAM di Indonesia, juga mengecam, seperti Kontras dan lain-lain. Bahkan menurut Komisioner Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Natalius Pigai, hukuman mati yang diterapkan pemerintah
terhadap narapidana kasus narkotika tak akan menimbulkan efek jera.
Ini jelas dilema bagi
pemerintah Indonesia yang sedang memerangi peredaran dan penggunaan narkoba. Menjadi
ancaman bagi penegakan hukum terhadap para Bandar/mafia narkoba ke depan.
Apalagi, pemerintah Indonesia tetap bersikeras mengeksuskusi mati para narapidana narkoba yang mendapat dukungan dari DPR RI.
Ancaman kedua yang lebih serius dalam perang melawan
narkoba, sesungguhnya lebih berat dan sistemik datang dari si pemakai/pengguna
dan para bandar narkoba. Mereka tidak pernah berhenti dan tidak takut akan
ancaman hukuman mati. Mereka terus mengintai siapa saja untuk dijadikan sasaran
peredaran narkoba. Karena bagi mereka, semakin banyak orang yang memakai,
menggunakan dan bahkan adiktif dengan narkoba, maka semakin besar keuntungan
yang didapat. Mereka semakin berani. Buktinya, di samping sudah berhasil mempengaruhi sekitar 4.5 juta orang Indonesia menjadi pemakai atau pengguna, serta
1,2 juta orang sudah tidak bisa direhabilitasi, karena kondisi mereka sudah
terlalu parah. Sudah tidak terhitung pula di antara mereka yang tewas karena
narkoba. Apalagi sasaran dari peredaraan
narkoba tersebut, tidak memandang umur, jenis kelamin, agama dan status apa pun,
hingga anak-anak SD. Nah, wajar saja kalau korbannya semakin hari semakin
banyak korban.
Bukan hanya Kabul Basuki alias Tessy, sang pelawak grup
Srimulat yang ikut terjerat hukum karena narkoba yang ditangkap 23 Oktober 2014
lalu, tepai juga lebih gila dan lebih menyedihkan, ketia Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan
Universitas Hasanuddin, Prof Dr Musakkir terjerat narkoba. Sang Profesor tertangkap
pesta sabu bersama dosen dan mahasiswinya di Hotel Grand Malibu Jalan Pelita
Raya, Makassar, Jumat, 14 November 2014 lalu. Jadi, sangat ironis dan berbahaya
bukan?
Nah, sudah terlalu banyak
korbannya. Wilayah Jakarta saja, menurut Badan Narkotika
Nasional (BNN) bahwa prevalensi penggunaan narkoba di Jakarta sebanyak 7 persen
dari total penduduk Jakarta yang berjumlah sekitar 7 juta jiwa, atau 491.848
orang. ( Koran Tempo, Sabtu 1 November 2014). Belum lagi di daerah lain yang
rawan dengan penyeludupan narkoba. Di
Aceh, dari data yang dimiliki Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2011 saja,
Aceh menduduki peringkat ke 10 dengan angka prevalensi penyalahguna Narkoba
sebanyak 2% atau sekitar 60.486 dari 3.024.300 jiwa Penduduk Aceh saat itu.
Kini pasti lebih besar lagi.
Buktinya, pada 15 Februari
2015 seperti diberitakan harian Serambi Indonesia, Badan Narkotika Nasional (BNN) Pusat
dilaporkan berhasil menyita hasil tangkapan narkotika jenis sabu seberat 75 Kg
dalam sebuah penggerebekan di kawasan Alue Bu, Peureulak Barat, Aceh Timur,
Minggu (15/2/2015). Selain itu, sangat banyak kasus penangkapan dan penyitaan
narkoba yang terjadi di Aceh belakangan ini. Jadi, Aceh merupakan daerah yang
sangat rawan dengan peredaran narkoba. Jadi, memang sangat mengerikan.
Tindakan para pengedar dan
Bandar narkoba sebenarnya adalah tindakan membunuh generasi secara perlahan.
Sebab, banyak korban yang terpaksa mati, terjerat oleh narkoba. Ketika sudah
tidak bisa lagi direhabilitasi, mereka akan hidup merana dan mati. Nah, dapat
kita kategorikan bahwa perdagangan narkoba di Indonesia itu merupakan ancaman yang sistemik dan sangat
mematikan masa depan generasi bangsa Indonesia. Mereka membuat posisi bangsa
dalam darurat Narkoba. Sayangnya pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah
dalam mencari solusi narkoba masih menggunakan pendekatan Pemadam kebakaran.
15 Menit Yang Menakjubkan
15 MENIT YANG MENAKJUBKAN
Oleh Tabrani Yunis
Direktur Center for
Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh
Sore itu, tanggal 7 November 2014, saat dalam perjalanan pulang dari Jakarta- Banda Aceh dengan menumpang peswat Garuda, saya membaca surat kabar harian sore, Sinar Harapan terbitan Jumat, 7 November 2014. Sebagai orang yang concern dengan dunia pendidikan, saya tertarik membaca rubrik Sains& Pendidikan. Di rubric itu ada berita yang berjudul " Dana Berlimpah, Mutu Pendididikan Masih Rendah". Berita itu memaparkan bahwa Pemerintah Aceh, mengalokasikan anggaran cukup besar untuk pendidikan, namun kualitas pendidikan di Aceh masih sangat rendah dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia". Begitu ujar Asisten dua pemerintah Aceh,Azhari Hasan kepada Sinar. Harapan, Kamis 6 November 2014.
Ungkapan di atas, bukanlah ungkapan yang pertama dan bukan pula menjadi ungkapan terakhir mengenai kualitas pendidikan Aceh. Bisa jadi, setelah ini akan semakin banyak ungkapan ketidakpuasan itu terdengar di tengah masyarakat kita. Apalagi kalau media di Aceh dan media nasional mau dan rajin menanyakan hal itu kepada para praktisi dan pakar serta para pemerhati pendidikan di Aceh, maka ungkapan itu akan terus berulang kita dengar.
Tak dapat dipungkiri bahwa
deskripsi demikian sudah terlalu banyak juga kita dengar di berbagai seminar
pendidikan, atau pada kegiatan-kegiatan penataran guru di Aceh. Artinya, semua
orang sudah mengetahui kondisi ini, namun seolah semua tidak berdaya untuk
memperbaiki kondisi buruk kualitas pendidikan di Aceh, hingga saat ini. Padahal
pemerintah Aceh, konon sudah mengalokasi dana pendidikan yang katanya cukup
besar untuk sector ini, ternyata kondisi tidak jauh berubah. Oleh sebab itu, ini juga menjadi sebuah
indikator bahwa besar dan melimpahnya dana pendidikan di Aceh, tidak bisa
menjamin bahwa kualitas pendidikan di Aceh secara serta merta akan semakin
baik. Mengapa demikian?
Tentu akan banyak factor penyebabnya bila ingin dikaji lebih dalam. Pemerintah daerah seharusnya bisa lebih kritis melihat persoalan pendidikan Aceh. Kritis dalam arti terus mengidentifikasi dengan sungguh-sungguh sejumlah masalah yang dihadapi Aceh dalam sektor pendidikan. Tentu bukan hanya sekedar mengidentifikasinya, tetapi mampu menganalisis dengan tepat faktor- faktor apa saja yang menyebabkan kualitas pendidikan di Aceh tidak berubah, karena dana yang melimpah tersebut. Bukankah Pemda Aceh memiliki tenaga-tenaga ahli yang tergabung dalam team ahli Gubernur? Bukankah Pemda Aceh memiliki think tank di Majelis Pendidikan Daerah (MPD)? Sangat ironis bukan?
Ya, memang ironis. Namun lebih ironis lagi apa yang dirasakan oleh guru sebagai praktisi pendidikan yang setiap hari bergelut dengan aktivitas pembelajaran di lembaga pendidikan yang kita sebut sekolah- sekolah tersebut. Dikatakan demikian, karena ketika kualitas pendidikan Aceh yang belum berubah menjadi berkualitas tinggi, pihak yang pertama menjadi kambing hitam adalah guru. Misalnya, soal distribusi guru yang tidak merata antara kota dan daerah, soal kualitas guru di kota dan di daerah yang timpang dan segalanya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kualitas guru di Aceh memang menjadi sebuah masalah yang hingga kini belum terpecahkan. Padahal persoalan yang terjadi adalah persoalan yang sama, yakni rendahnya kualitas pendidikan Aceh yang wujudnya ada pada persoalan kualitas guru yang masih rendah. Ada yang menyebutkan lebih dari 50 % guru tidak layak mengajar dan sebagainya.
Oleh sebab itu apa yang
menjadi pertanyaan kita adalah, Bukankah persoalan kualitas guru di Aceh
memang sudah menjadi persoalan klasik dan sudah berlangsung sangat lama?
Bukankah persoalan ini memang sejak dahulu sudah menjadi masalah dan
Dinas Pendidikan yang bertanggung jawab dalam upaya peningkatan kualitas guru
di Aceh,mengapa tidak pernah berhasil meningkatkan kualitas guru di Aceh yang
jumlahnya hanya ratusan ribu tersebut? Dinas Pendidikan, baik di tingkat
Provinsi, maupun kabupaten kota, tetap tidak mampu meningkatkan kualitas guru
dan tentunya kualitas pendidikan secara umum di setipa kabupaten/kota di Aceh.
Sungguh aneh.
Memang sangat aneh. Seharusnya,
Dinas Pendidikan di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota yang selama ini
bertanggung jawab dalam upaya membina guru, juga harus diminta
pertanggung jawaban mereka. Kemana saja dana yang besar dikelola mereka itu
digunakan dan mengapa belum bisa memperbaiki atau meningkatkan kualitas
guru? Apakah selama ini, Dinas Pendidikan yang mengelola dana pendidikan
yang besar tersebut benar-benar dan serius berupaya meningkatkan kualitas
pendidikan di Aceh?
Agaknya, ini memang harus kita tanyakan kepada pihak Dinas Pendidikan Aceh. Pihak Dinas Pendidikan Provinsi dan kabupaten/kota, tidak boleh cuci tangan dalam persoalan ini. Guru memang salah, karena banyak guru yang juga malas belajar. Namun Dinas Pendidikan juga tidak kurang salahnya, karena faktor penyebabnya juga cendrung karena kebijakan dan manajemen peningkatan kualitas guru dan manajemen pendidikan di Aceh yang salah kaprah. Apa yang terjadi dalam penataan dan pengelolaan tenaga pendidik selama ini adalah sesungguhnya Dinas Pendidikan tidak melakukan pembinaan guru secara serius dan profesional. Paradigma yang digunakan masih menggunakan pola lama. Padahal, zaman telah berubah, namun metodologi pembelajaran lewat kegiatan penataran atau pelatihan guru tersebut tidak berubah dari gaya lama. Anehnya lagi, kepala Dinas terus berganti, namun kualitas pendidikan tidak kunjung meningkat. Selayaknya pula ketika kepala Dinas berganti, perubahan juga terjadi, menjadi lebih baik. Kenyataannya, tidak demikian.
Rendahnya kualitas dan karut marutnya soal kualitas pendidikan
di Aceh selama ini menunjukkan betapa buruknya kinerja dunia pendidikan kita di
Aceh yang tidak mampu bangkit dari keterpurukan karena berbagai alasan yang
kdangka;a tidak masuk akal. Ketika dahulu, kualitas rendah karena kurangnya
dana, namun ketika dana melimpah pun , kualitas pendidikan di Aceh dirasakan
seperri jalan di tempat. Tidak ada perubahan yang signifikan. Pemerintah daerah
dan Dinas Pendidikan pun sudah seperti orang kehilangan akal sehat. Apalagi,
kondisi masyarakat Aceh yang masih rendah budaya bacanya. Padahal, sebagai
masyarakat yang menjalankan syariat Islam, membaca adalah sebuah perintah Allah
yang diketahui atau difahami dapat membangun kualitas yang menakjubkan.
Sudah saatnya pemerintah
Provinsi dan Kabupaten Kota meluruskan kembali niat membangun dunia pendidikan
di Aceh diluruskan. Kembalikan niat itu ke track yang benar. Mungkinkah?
Jawabnya bisa saja tidak mungkin, namun harus diupayakan menjadi mungkin. Tentu
saja orientasi dari kekuasaan itu harus dikembalikan kepada hakikat
kepemimpinan yang membangun, bukan menguasai. Ini adalah kesalahan yang harus
diperbaiki oleh pemerintah Aceh, baik Provinsi maupun kabupaten kota.
15 Menit Yang
Menakjubkan itu
Nah, kiranya pemerintah
beserta jajaran Dinas Pendidikan memang tidak boleh kehilangan akal sehat
da;lam mengelola pendidikan di daerah ini. Pemerintah memang harus meluruskan
hati dalam mengelola pendidikkan. Pemerintah juga tidak boleh beralasan tidak
ada dana untuk membiayai upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM)
masyarakat Aceh lewat pendidikan. Karena sesungguhnya, tanpa dana yang besar,
asal niat untuk meningkatkan kualitas pendidikan itu besar, ada cara yang lebih
efektif dan efisien dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Aceh. Pertanyaannya adalah, apa yang bisa
dilakukan?
Yang pertama harus dilakukan
adalah meluruskan kembali niat atau political will pemerintah daerah da Dinas
Pendidikan dalam membangun pendidikan yang berkualitas. Hal kedua adalah
membuat program literasi yang mendorong dan mewajibkan semua sekolah
melaksanakan kegiatan- kegiatan literasi yang mencakup peningkatan budaya baca
dan menulis. Untuk hal ini, pemerintah bersama Dinas Pendidikan Aceh di
Provinsi dan Kabupaten /kota bisa melakukan gerakan membaca 15 menit. Gerakan
15 menit yang menakjubkan, dilakukan dengan cara mewajibkan setiap anak dan
guru membaca selama minimal 15 menit setiap pagi, sebelum pelajaran jam pertama
dilakukan. Kegiatan harus diberlakukan di setiap kelas yang di setiap sekolah
dengan melibatkan semua guru di masing-masing kelas. Setelah setiap anak dan
guru membaca minimal 15 menit tersebut, guru melanjutkan sebuah aktivitas
reproduktif dengan meminta satu orang anak setiap hari usai membaca, untuk
menceritakan kembali di depan kelas, apa yang telah dibaca. Ini penting, untuk
melatih kemampuan public speaking
anak-anak. Bila ini dilakukan setiap hari. Insya Allah kualitas pendidikan di
Aceh akan meningkat dengan sangat menakjubkan.
Agar program ini bisa
berjalan dengan baik, pemerintah daerah dan Dinas Pendidikan beserta sekolah,
harus menyediakan sejumlah buku bacaan yang menarik untk dibaca oleh anak-anak
dan guru di sekolah. Tentu saja tidak harus menyediakan perpustakaan yang
lengkap, tetapi cukup dengan menyediakan pojok baca di setiap kelas dengan buku
– buku yang berkualitas, bukan membali buku dan bacaan berdasarkan birahi
proyek ( project oriented). Mari kita bergerak sekarang juga.
Selasa, 10 Februari 2015
Langganan:
Postingan (Atom)