Kamis, 23 Juli 2015

15 Menit Yang Menakjubkan


15 MENIT YANG MENAKJUBKAN
Oleh Tabrani Yunis
Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh
 
Sore itu, tanggal 7 November 2014, saat dalam perjalanan pulang dari Jakarta- Banda Aceh dengan menumpang peswat Garuda, saya membaca surat kabar harian sore, Sinar Harapan terbitan Jumat, 7 November 2014. Sebagai orang yang concern dengan dunia pendidikan, saya tertarik membaca  rubrik Sains& Pendidikan. Di rubric itu ada  berita yang berjudul " Dana  Berlimpah, Mutu Pendididikan Masih Rendah". Berita  itu memaparkan bahwa Pemerintah Aceh, mengalokasikan anggaran cukup besar untuk pendidikan, namun kualitas pendidikan di Aceh masih sangat rendah dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia".  Begitu ujar Asisten dua pemerintah Aceh,Azhari Hasan kepada Sinar. Harapan, Kamis 6 November 2014.

Ungkapan di atas, bukanlah ungkapan yang pertama dan bukan pula menjadi ungkapan terakhir mengenai kualitas pendidikan Aceh. Bisa jadi, setelah ini akan semakin banyak ungkapan ketidakpuasan itu terdengar di tengah masyarakat kita. Apalagi kalau media di Aceh dan media nasional mau dan rajin menanyakan hal itu kepada para praktisi dan pakar serta para pemerhati pendidikan di Aceh, maka ungkapan itu akan terus berulang kita dengar.

Tak dapat dipungkiri bahwa deskripsi demikian sudah terlalu banyak juga kita dengar di berbagai seminar pendidikan, atau pada kegiatan-kegiatan penataran guru di Aceh. Artinya, semua orang sudah mengetahui kondisi ini, namun seolah semua tidak berdaya untuk memperbaiki kondisi buruk kualitas pendidikan di Aceh, hingga saat ini. Padahal pemerintah Aceh, konon sudah mengalokasi dana pendidikan yang katanya cukup besar untuk sector ini, ternyata kondisi tidak jauh berubah.  Oleh sebab itu, ini juga menjadi sebuah indikator bahwa besar dan melimpahnya dana pendidikan di Aceh, tidak bisa menjamin bahwa kualitas pendidikan di Aceh secara serta merta akan semakin baik. Mengapa demikian?

Tentu akan banyak factor penyebabnya bila ingin dikaji lebih dalam. Pemerintah daerah seharusnya bisa lebih kritis melihat persoalan pendidikan Aceh. Kritis dalam arti terus mengidentifikasi dengan sungguh-sungguh sejumlah masalah yang dihadapi Aceh dalam sektor pendidikan. Tentu bukan hanya sekedar mengidentifikasinya, tetapi mampu menganalisis dengan tepat faktor- faktor apa saja yang menyebabkan kualitas pendidikan di Aceh tidak berubah, karena dana yang melimpah tersebut. Bukankah Pemda Aceh  memiliki tenaga-tenaga ahli yang tergabung dalam team ahli Gubernur? Bukankah Pemda Aceh memiliki think tank di  Majelis Pendidikan Daerah (MPD)? Sangat ironis bukan?

Ya, memang ironis. Namun lebih  ironis lagi apa yang dirasakan oleh guru sebagai praktisi pendidikan yang setiap hari bergelut dengan aktivitas pembelajaran di lembaga pendidikan yang kita sebut sekolah- sekolah tersebut. Dikatakan demikian, karena ketika kualitas pendidikan Aceh yang belum berubah menjadi berkualitas tinggi, pihak yang pertama menjadi kambing hitam adalah guru. Misalnya, soal distribusi guru yang tidak merata antara kota dan daerah, soal kualitas guru di kota dan di daerah yang timpang dan segalanya.


Tidak dapat dipungkiri bahwa kualitas guru di Aceh memang menjadi sebuah masalah yang hingga kini belum terpecahkan. Padahal persoalan yang terjadi adalah persoalan yang sama, yakni rendahnya kualitas pendidikan Aceh yang wujudnya ada pada persoalan kualitas guru yang masih rendah. Ada yang menyebutkan lebih dari 50 % guru tidak layak mengajar dan sebagainya.

Oleh sebab itu apa yang menjadi pertanyaan kita adalah,  Bukankah persoalan kualitas guru di Aceh memang sudah menjadi persoalan klasik dan sudah berlangsung sangat lama? Bukankah persoalan ini memang  sejak dahulu sudah menjadi masalah dan Dinas Pendidikan yang bertanggung jawab dalam upaya peningkatan kualitas guru di Aceh,mengapa tidak pernah berhasil meningkatkan kualitas guru di Aceh yang jumlahnya hanya ratusan ribu tersebut? Dinas Pendidikan, baik di tingkat Provinsi, maupun kabupaten kota, tetap tidak mampu meningkatkan kualitas guru dan tentunya kualitas pendidikan secara umum di setipa kabupaten/kota di Aceh. Sungguh aneh.

Memang sangat aneh. Seharusnya, Dinas Pendidikan di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota yang selama ini bertanggung jawab dalam upaya membina guru,  juga harus diminta pertanggung jawaban mereka. Kemana saja dana yang besar dikelola mereka itu digunakan dan mengapa belum bisa memperbaiki atau meningkatkan kualitas guru?  Apakah selama ini, Dinas Pendidikan yang mengelola dana pendidikan yang besar tersebut benar-benar dan serius berupaya meningkatkan kualitas pendidikan di Aceh?

Agaknya, ini memang harus kita tanyakan kepada pihak Dinas Pendidikan Aceh. Pihak Dinas Pendidikan Provinsi dan  kabupaten/kota, tidak boleh cuci tangan dalam persoalan ini. Guru memang salah, karena banyak guru yang juga malas belajar. Namun Dinas Pendidikan juga tidak kurang salahnya, karena faktor penyebabnya juga cendrung karena  kebijakan dan manajemen peningkatan kualitas guru dan manajemen pendidikan di Aceh yang salah kaprah. Apa yang terjadi dalam penataan dan pengelolaan tenaga pendidik selama ini adalah sesungguhnya Dinas Pendidikan tidak melakukan pembinaan guru secara serius dan profesional. Paradigma yang digunakan masih menggunakan pola lama. Padahal, zaman telah berubah, namun metodologi pembelajaran lewat kegiatan penataran atau pelatihan guru tersebut tidak berubah dari gaya lama. Anehnya lagi, kepala Dinas terus berganti, namun kualitas pendidikan tidak kunjung meningkat. Selayaknya pula ketika kepala Dinas berganti, perubahan juga terjadi, menjadi lebih baik. Kenyataannya, tidak demikian.

Rendahnya kualitas  dan karut marutnya soal kualitas pendidikan di Aceh selama ini menunjukkan betapa buruknya kinerja dunia pendidikan kita di Aceh yang tidak mampu bangkit dari keterpurukan karena berbagai alasan yang kdangka;a tidak masuk akal. Ketika dahulu, kualitas rendah karena kurangnya dana, namun ketika dana melimpah pun , kualitas pendidikan di Aceh dirasakan seperri jalan di tempat. Tidak ada perubahan yang signifikan. Pemerintah daerah dan Dinas Pendidikan pun sudah seperti orang kehilangan akal sehat. Apalagi, kondisi masyarakat Aceh yang masih rendah budaya bacanya. Padahal, sebagai masyarakat yang menjalankan syariat Islam, membaca adalah sebuah perintah Allah yang diketahui atau difahami dapat membangun kualitas yang menakjubkan.

Sudah saatnya pemerintah Provinsi dan Kabupaten Kota meluruskan kembali niat membangun dunia pendidikan di Aceh diluruskan. Kembalikan niat itu ke track yang benar. Mungkinkah? Jawabnya bisa saja tidak mungkin, namun harus diupayakan menjadi mungkin. Tentu saja orientasi dari kekuasaan itu harus dikembalikan kepada hakikat kepemimpinan yang membangun, bukan menguasai. Ini adalah kesalahan yang harus diperbaiki oleh pemerintah Aceh, baik Provinsi maupun kabupaten kota.


15 Menit Yang Menakjubkan itu

Nah, kiranya pemerintah beserta jajaran Dinas Pendidikan memang tidak boleh kehilangan akal sehat da;lam mengelola pendidikan di daerah ini. Pemerintah memang harus meluruskan hati dalam mengelola pendidikkan. Pemerintah juga tidak boleh beralasan tidak ada dana untuk membiayai upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) masyarakat Aceh lewat pendidikan. Karena sesungguhnya, tanpa dana yang besar, asal niat untuk meningkatkan kualitas pendidikan itu besar, ada cara yang lebih efektif dan efisien dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Aceh.  Pertanyaannya adalah, apa yang bisa dilakukan?

Yang pertama harus dilakukan adalah meluruskan kembali niat atau political will pemerintah daerah da Dinas Pendidikan dalam membangun pendidikan yang berkualitas. Hal kedua adalah membuat program literasi yang mendorong dan mewajibkan semua sekolah melaksanakan kegiatan- kegiatan literasi yang mencakup peningkatan budaya baca dan menulis. Untuk hal ini, pemerintah bersama Dinas Pendidikan Aceh di Provinsi dan Kabupaten /kota bisa melakukan gerakan membaca 15 menit. Gerakan 15 menit yang menakjubkan, dilakukan dengan cara mewajibkan setiap anak dan guru membaca selama minimal 15 menit setiap pagi, sebelum pelajaran jam pertama dilakukan. Kegiatan harus diberlakukan di setiap kelas yang di setiap sekolah dengan melibatkan semua guru di masing-masing kelas. Setelah setiap anak dan guru membaca minimal 15 menit tersebut, guru melanjutkan sebuah aktivitas reproduktif dengan meminta satu orang anak setiap hari usai membaca, untuk menceritakan kembali di depan kelas, apa yang telah dibaca. Ini penting, untuk melatih kemampuan public  speaking anak-anak. Bila ini dilakukan setiap hari. Insya Allah kualitas pendidikan di Aceh akan meningkat dengan sangat menakjubkan.

Agar program ini bisa berjalan dengan baik, pemerintah daerah dan Dinas Pendidikan beserta sekolah, harus menyediakan sejumlah buku bacaan yang menarik untk dibaca oleh anak-anak dan guru di sekolah. Tentu saja tidak harus menyediakan perpustakaan yang lengkap, tetapi cukup dengan menyediakan pojok baca di setiap kelas dengan buku – buku yang berkualitas, bukan membali buku dan bacaan berdasarkan birahi proyek ( project oriented). Mari kita bergerak sekarang juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar