Kamis, 23 Juli 2015

ANCAMAN SISTEMIK INDONESIA


ANCAMAN SISTEMIK  INDONESIA

Oleh Tabrani Yunis
Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh

Indonesia kini, paling kurang berhadapan dua ancaman besar terkait narkoba. Ancaman pertama adalah ancaman  terhadap upaya penegakan hukum terhadap para narapidana narkoba. Saat ini pemerintah Indonesia dihadapkan pada dilemma penegakam hukum mati terhadap Bandar narkoba yang sudah ditetapkan dengan hukuman mati. Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo menolak memberikan grasi kepada 64 narapidana narkoba. Dengan ditolaknya grasi oleh Jokowi tersebut, berarti ke 64 narapidana narkoba tersebut terancam dihukum mati dengan hanya menanti kapan pelaksanaan eksekusi dilakukan. Akibatnya, beberapa kepala Negara meradang dan memberikan reaksi keras. Perdana Menteri Australia, John Abbot mengeluarkan pernyataan yang tidak ubahnya berharap Pemerintah Indonesia menjalankan politik balas budi, karena Australia pernah membantu rehab dan rekon Aceh pasca tsunami. Begitu pula sikap Pemerintah Brasil yang kecewa terhadap keputusan hukuman  mati tersebut.  Presiden Brasil, Dilma Roussef menolak  nota kepercayaan Duta Besar Indonesia untuk Brasil, Toto Riyanto, yang menyebabkan hubungan diplomasi kediua Negara dalam keadaan memanas.
Uni Eropa juga menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk tidak meneruskan eksekusi mati terhadap terpidana lain dan mempertimbangkan moratorium hukuman mati sebagai langkah awal menuju penghapusan hukuman mati secara menyeluruh. ( Tempo.co, 25 Februari 2015). Senada dengan sikap yang diambil Uni Eropa, Duta Besar Jerman untuk Indonesia, Georg Witschel, juga meminta Indonesia menghentikan eksekusi. "Jerman, seperti seluruh anggota Uni Eropa lainnya, menentang diberlakukannya hukuman mati. Hal itu tidak efektif dalam menurunkan angka kejahatan. Terutama dalam kasus pelanggaran narkotik," kata Witschel lewat akun Facebook Kedutaan Besar Jerman di Jakarta, Jumat.
Dari kalangan organisasi/ lembaga dan aktivis hak asasi manusia. Aktivis HAM internasional, Human Rights Watch, menuding Indonesia memberlakukan standar ganda soal hukuman mati. "Pemerintah Indonesia yang mengejar grasi bagi Ahmad di Arab Saudi sementara terus memberlakukan hukuman mati adalah kemunafikan terhadap hak untuk hidup," kata HRW yang menyebutkan pengampunan yang diupayakan Indonesia terhadap Satinah binti Jumadi Ahmad, TKI yang diganjar hukuman mati pada 2010, dan berhasil dibebaskan pada 2014. (Tempo.co 25/02/15).
Di dalam negeri, sejumlah aktivis dan organisasi yang bekerja di isu HAM di Indonesia, juga mengecam, seperti Kontras dan lain-lain. Bahkan menurut Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Natalius Pigai,  hukuman mati yang diterapkan pemerintah terhadap narapidana kasus narkotika tak akan menimbulkan efek jera.
Ini jelas dilema  bagi pemerintah Indonesia yang sedang memerangi peredaran dan penggunaan narkoba. Menjadi ancaman bagi penegakan hukum terhadap para Bandar/mafia narkoba ke depan. Apalagi, pemerintah Indonesia tetap bersikeras mengeksuskusi mati  para narapidana narkoba  yang  mendapat dukungan dari DPR RI.
Ancaman kedua yang lebih serius dalam perang melawan narkoba, sesungguhnya lebih berat dan sistemik datang dari si pemakai/pengguna dan para bandar narkoba. Mereka tidak pernah berhenti dan tidak takut akan ancaman hukuman mati. Mereka terus mengintai siapa saja untuk dijadikan sasaran peredaran narkoba. Karena bagi mereka, semakin banyak orang yang memakai, menggunakan dan bahkan adiktif dengan narkoba, maka semakin besar keuntungan yang didapat. Mereka semakin berani. Buktinya, di samping  sudah berhasil mempengaruhi  sekitar 4.5 juta orang  Indonesia menjadi pemakai atau pengguna, serta 1,2 juta orang sudah tidak bisa direhabilitasi, karena kondisi mereka sudah terlalu parah. Sudah tidak terhitung pula di antara mereka yang tewas karena narkoba.  Apalagi sasaran dari peredaraan narkoba tersebut, tidak memandang umur, jenis kelamin, agama dan status apa pun, hingga anak-anak SD. Nah, wajar saja kalau korbannya semakin hari semakin banyak korban.
Bukan hanya Kabul Basuki alias Tessy, sang pelawak grup Srimulat yang ikut terjerat hukum karena narkoba yang ditangkap 23 Oktober 2014 lalu, tepai juga lebih gila  dan  lebih menyedihkan, ketia  Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan Universitas Hasanuddin, Prof Dr Musakkir terjerat narkoba. Sang Profesor tertangkap pesta sabu bersama dosen dan mahasiswinya di Hotel Grand Malibu Jalan Pelita Raya, Makassar, Jumat, 14 November 2014 lalu. Jadi, sangat ironis dan berbahaya bukan?
Nah, sudah terlalu banyak korbannya. Wilayah Jakarta saja, menurut   Badan  Narkotika Nasional (BNN) bahwa prevalensi penggunaan narkoba di Jakarta sebanyak 7 persen dari total penduduk Jakarta yang berjumlah sekitar 7 juta jiwa, atau 491.848 orang. ( Koran Tempo, Sabtu 1 November 2014). Belum lagi di daerah lain yang rawan dengan penyeludupan narkoba.  Di Aceh, dari data yang dimiliki Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2011 saja, Aceh menduduki peringkat ke 10 dengan angka prevalensi penyalahguna Narkoba sebanyak 2% atau sekitar 60.486 dari 3.024.300 jiwa Penduduk Aceh saat itu. Kini pasti lebih besar lagi.

Buktinya, pada 15 Februari 2015 seperti diberitakan harian Serambi Indonesia,   Badan Narkotika Nasional (BNN) Pusat dilaporkan berhasil menyita hasil tangkapan narkotika jenis sabu seberat 75 Kg dalam sebuah penggerebekan di kawasan Alue Bu, Peureulak Barat, Aceh Timur, Minggu (15/2/2015). Selain itu, sangat banyak kasus penangkapan dan penyitaan narkoba yang terjadi di Aceh belakangan ini. Jadi, Aceh merupakan daerah yang sangat rawan dengan peredaran narkoba. Jadi, memang sangat mengerikan.

Tindakan para pengedar dan Bandar narkoba sebenarnya adalah tindakan membunuh generasi secara perlahan. Sebab, banyak korban yang terpaksa mati, terjerat oleh narkoba. Ketika sudah tidak bisa lagi direhabilitasi, mereka akan hidup merana dan mati. Nah, dapat kita kategorikan bahwa perdagangan narkoba di Indonesia itu  merupakan ancaman yang sistemik dan sangat mematikan masa depan generasi bangsa Indonesia. Mereka membuat posisi bangsa dalam darurat Narkoba. Sayangnya pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam mencari solusi narkoba masih menggunakan pendekatan Pemadam kebakaran.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar