ANCAMAN SISTEMIK INDONESIA
Oleh Tabrani Yunis
Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh
Indonesia kini, paling kurang
berhadapan dua ancaman besar terkait narkoba. Ancaman pertama adalah ancaman terhadap upaya penegakan hukum terhadap para
narapidana narkoba. Saat ini pemerintah Indonesia dihadapkan pada dilemma
penegakam hukum mati terhadap Bandar narkoba yang sudah ditetapkan dengan
hukuman mati. Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo menolak memberikan grasi
kepada 64 narapidana narkoba. Dengan ditolaknya grasi oleh Jokowi tersebut,
berarti ke 64 narapidana narkoba tersebut terancam dihukum mati dengan hanya
menanti kapan pelaksanaan eksekusi dilakukan. Akibatnya, beberapa kepala Negara
meradang dan memberikan reaksi keras. Perdana Menteri Australia, John Abbot
mengeluarkan pernyataan yang tidak ubahnya berharap Pemerintah Indonesia
menjalankan politik balas budi, karena Australia pernah membantu rehab dan
rekon Aceh pasca tsunami. Begitu pula sikap Pemerintah Brasil yang kecewa
terhadap keputusan hukuman mati
tersebut. Presiden Brasil, Dilma Roussef
menolak nota kepercayaan Duta Besar
Indonesia untuk Brasil, Toto Riyanto, yang menyebabkan hubungan diplomasi
kediua Negara dalam keadaan memanas.
Uni Eropa juga menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk
tidak meneruskan eksekusi mati terhadap terpidana lain dan mempertimbangkan
moratorium hukuman mati sebagai langkah awal menuju penghapusan hukuman mati
secara menyeluruh. ( Tempo.co, 25 Februari 2015). Senada dengan sikap yang
diambil Uni Eropa, Duta Besar Jerman untuk Indonesia, Georg Witschel, juga
meminta Indonesia menghentikan eksekusi. "Jerman, seperti seluruh anggota
Uni Eropa lainnya, menentang diberlakukannya hukuman mati. Hal itu tidak
efektif dalam menurunkan angka kejahatan. Terutama dalam kasus pelanggaran
narkotik," kata Witschel lewat akun Facebook Kedutaan Besar Jerman di
Jakarta, Jumat.
Dari kalangan
organisasi/ lembaga dan aktivis hak asasi manusia. Aktivis HAM internasional, Human Rights Watch, menuding
Indonesia memberlakukan standar ganda soal hukuman mati. "Pemerintah
Indonesia yang mengejar grasi bagi Ahmad di Arab Saudi sementara terus
memberlakukan hukuman mati adalah kemunafikan terhadap hak untuk hidup,"
kata HRW yang menyebutkan pengampunan yang diupayakan Indonesia terhadap
Satinah binti Jumadi Ahmad, TKI yang diganjar hukuman mati pada 2010, dan
berhasil dibebaskan pada 2014. (Tempo.co 25/02/15).
Di dalam negeri, sejumlah aktivis dan organisasi yang bekerja
di isu HAM di Indonesia, juga mengecam, seperti Kontras dan lain-lain. Bahkan menurut Komisioner Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Natalius Pigai, hukuman mati yang diterapkan pemerintah
terhadap narapidana kasus narkotika tak akan menimbulkan efek jera.
Ini jelas dilema bagi
pemerintah Indonesia yang sedang memerangi peredaran dan penggunaan narkoba. Menjadi
ancaman bagi penegakan hukum terhadap para Bandar/mafia narkoba ke depan.
Apalagi, pemerintah Indonesia tetap bersikeras mengeksuskusi mati para narapidana narkoba yang mendapat dukungan dari DPR RI.
Ancaman kedua yang lebih serius dalam perang melawan
narkoba, sesungguhnya lebih berat dan sistemik datang dari si pemakai/pengguna
dan para bandar narkoba. Mereka tidak pernah berhenti dan tidak takut akan
ancaman hukuman mati. Mereka terus mengintai siapa saja untuk dijadikan sasaran
peredaran narkoba. Karena bagi mereka, semakin banyak orang yang memakai,
menggunakan dan bahkan adiktif dengan narkoba, maka semakin besar keuntungan
yang didapat. Mereka semakin berani. Buktinya, di samping sudah berhasil mempengaruhi sekitar 4.5 juta orang Indonesia menjadi pemakai atau pengguna, serta
1,2 juta orang sudah tidak bisa direhabilitasi, karena kondisi mereka sudah
terlalu parah. Sudah tidak terhitung pula di antara mereka yang tewas karena
narkoba. Apalagi sasaran dari peredaraan
narkoba tersebut, tidak memandang umur, jenis kelamin, agama dan status apa pun,
hingga anak-anak SD. Nah, wajar saja kalau korbannya semakin hari semakin
banyak korban.
Bukan hanya Kabul Basuki alias Tessy, sang pelawak grup
Srimulat yang ikut terjerat hukum karena narkoba yang ditangkap 23 Oktober 2014
lalu, tepai juga lebih gila dan lebih menyedihkan, ketia Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan
Universitas Hasanuddin, Prof Dr Musakkir terjerat narkoba. Sang Profesor tertangkap
pesta sabu bersama dosen dan mahasiswinya di Hotel Grand Malibu Jalan Pelita
Raya, Makassar, Jumat, 14 November 2014 lalu. Jadi, sangat ironis dan berbahaya
bukan?
Nah, sudah terlalu banyak
korbannya. Wilayah Jakarta saja, menurut Badan Narkotika
Nasional (BNN) bahwa prevalensi penggunaan narkoba di Jakarta sebanyak 7 persen
dari total penduduk Jakarta yang berjumlah sekitar 7 juta jiwa, atau 491.848
orang. ( Koran Tempo, Sabtu 1 November 2014). Belum lagi di daerah lain yang
rawan dengan penyeludupan narkoba. Di
Aceh, dari data yang dimiliki Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2011 saja,
Aceh menduduki peringkat ke 10 dengan angka prevalensi penyalahguna Narkoba
sebanyak 2% atau sekitar 60.486 dari 3.024.300 jiwa Penduduk Aceh saat itu.
Kini pasti lebih besar lagi.
Buktinya, pada 15 Februari
2015 seperti diberitakan harian Serambi Indonesia, Badan Narkotika Nasional (BNN) Pusat
dilaporkan berhasil menyita hasil tangkapan narkotika jenis sabu seberat 75 Kg
dalam sebuah penggerebekan di kawasan Alue Bu, Peureulak Barat, Aceh Timur,
Minggu (15/2/2015). Selain itu, sangat banyak kasus penangkapan dan penyitaan
narkoba yang terjadi di Aceh belakangan ini. Jadi, Aceh merupakan daerah yang
sangat rawan dengan peredaran narkoba. Jadi, memang sangat mengerikan.
Tindakan para pengedar dan
Bandar narkoba sebenarnya adalah tindakan membunuh generasi secara perlahan.
Sebab, banyak korban yang terpaksa mati, terjerat oleh narkoba. Ketika sudah
tidak bisa lagi direhabilitasi, mereka akan hidup merana dan mati. Nah, dapat
kita kategorikan bahwa perdagangan narkoba di Indonesia itu merupakan ancaman yang sistemik dan sangat
mematikan masa depan generasi bangsa Indonesia. Mereka membuat posisi bangsa
dalam darurat Narkoba. Sayangnya pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah
dalam mencari solusi narkoba masih menggunakan pendekatan Pemadam kebakaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar