15 MENIT YANG MENAKJUBKAN
Oleh Tabrani Yunis
Direktur Center for
Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh
Sore itu, tanggal 7 November 2014, saat dalam perjalanan pulang dari Jakarta- Banda Aceh dengan menumpang peswat Garuda, saya membaca surat kabar harian sore, Sinar Harapan terbitan Jumat, 7 November 2014. Sebagai orang yang concern dengan dunia pendidikan, saya tertarik membaca rubrik Sains& Pendidikan. Di rubric itu ada berita yang berjudul " Dana Berlimpah, Mutu Pendididikan Masih Rendah". Berita itu memaparkan bahwa Pemerintah Aceh, mengalokasikan anggaran cukup besar untuk pendidikan, namun kualitas pendidikan di Aceh masih sangat rendah dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia". Begitu ujar Asisten dua pemerintah Aceh,Azhari Hasan kepada Sinar. Harapan, Kamis 6 November 2014.
Ungkapan di atas, bukanlah ungkapan yang pertama dan bukan pula menjadi ungkapan terakhir mengenai kualitas pendidikan Aceh. Bisa jadi, setelah ini akan semakin banyak ungkapan ketidakpuasan itu terdengar di tengah masyarakat kita. Apalagi kalau media di Aceh dan media nasional mau dan rajin menanyakan hal itu kepada para praktisi dan pakar serta para pemerhati pendidikan di Aceh, maka ungkapan itu akan terus berulang kita dengar.
Tak dapat dipungkiri bahwa
deskripsi demikian sudah terlalu banyak juga kita dengar di berbagai seminar
pendidikan, atau pada kegiatan-kegiatan penataran guru di Aceh. Artinya, semua
orang sudah mengetahui kondisi ini, namun seolah semua tidak berdaya untuk
memperbaiki kondisi buruk kualitas pendidikan di Aceh, hingga saat ini. Padahal
pemerintah Aceh, konon sudah mengalokasi dana pendidikan yang katanya cukup
besar untuk sector ini, ternyata kondisi tidak jauh berubah. Oleh sebab itu, ini juga menjadi sebuah
indikator bahwa besar dan melimpahnya dana pendidikan di Aceh, tidak bisa
menjamin bahwa kualitas pendidikan di Aceh secara serta merta akan semakin
baik. Mengapa demikian?
Tentu akan banyak factor penyebabnya bila ingin dikaji lebih dalam. Pemerintah daerah seharusnya bisa lebih kritis melihat persoalan pendidikan Aceh. Kritis dalam arti terus mengidentifikasi dengan sungguh-sungguh sejumlah masalah yang dihadapi Aceh dalam sektor pendidikan. Tentu bukan hanya sekedar mengidentifikasinya, tetapi mampu menganalisis dengan tepat faktor- faktor apa saja yang menyebabkan kualitas pendidikan di Aceh tidak berubah, karena dana yang melimpah tersebut. Bukankah Pemda Aceh memiliki tenaga-tenaga ahli yang tergabung dalam team ahli Gubernur? Bukankah Pemda Aceh memiliki think tank di Majelis Pendidikan Daerah (MPD)? Sangat ironis bukan?
Ya, memang ironis. Namun lebih ironis lagi apa yang dirasakan oleh guru sebagai praktisi pendidikan yang setiap hari bergelut dengan aktivitas pembelajaran di lembaga pendidikan yang kita sebut sekolah- sekolah tersebut. Dikatakan demikian, karena ketika kualitas pendidikan Aceh yang belum berubah menjadi berkualitas tinggi, pihak yang pertama menjadi kambing hitam adalah guru. Misalnya, soal distribusi guru yang tidak merata antara kota dan daerah, soal kualitas guru di kota dan di daerah yang timpang dan segalanya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kualitas guru di Aceh memang menjadi sebuah masalah yang hingga kini belum terpecahkan. Padahal persoalan yang terjadi adalah persoalan yang sama, yakni rendahnya kualitas pendidikan Aceh yang wujudnya ada pada persoalan kualitas guru yang masih rendah. Ada yang menyebutkan lebih dari 50 % guru tidak layak mengajar dan sebagainya.
Oleh sebab itu apa yang
menjadi pertanyaan kita adalah, Bukankah persoalan kualitas guru di Aceh
memang sudah menjadi persoalan klasik dan sudah berlangsung sangat lama?
Bukankah persoalan ini memang sejak dahulu sudah menjadi masalah dan
Dinas Pendidikan yang bertanggung jawab dalam upaya peningkatan kualitas guru
di Aceh,mengapa tidak pernah berhasil meningkatkan kualitas guru di Aceh yang
jumlahnya hanya ratusan ribu tersebut? Dinas Pendidikan, baik di tingkat
Provinsi, maupun kabupaten kota, tetap tidak mampu meningkatkan kualitas guru
dan tentunya kualitas pendidikan secara umum di setipa kabupaten/kota di Aceh.
Sungguh aneh.
Memang sangat aneh. Seharusnya,
Dinas Pendidikan di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota yang selama ini
bertanggung jawab dalam upaya membina guru, juga harus diminta
pertanggung jawaban mereka. Kemana saja dana yang besar dikelola mereka itu
digunakan dan mengapa belum bisa memperbaiki atau meningkatkan kualitas
guru? Apakah selama ini, Dinas Pendidikan yang mengelola dana pendidikan
yang besar tersebut benar-benar dan serius berupaya meningkatkan kualitas
pendidikan di Aceh?
Agaknya, ini memang harus kita tanyakan kepada pihak Dinas Pendidikan Aceh. Pihak Dinas Pendidikan Provinsi dan kabupaten/kota, tidak boleh cuci tangan dalam persoalan ini. Guru memang salah, karena banyak guru yang juga malas belajar. Namun Dinas Pendidikan juga tidak kurang salahnya, karena faktor penyebabnya juga cendrung karena kebijakan dan manajemen peningkatan kualitas guru dan manajemen pendidikan di Aceh yang salah kaprah. Apa yang terjadi dalam penataan dan pengelolaan tenaga pendidik selama ini adalah sesungguhnya Dinas Pendidikan tidak melakukan pembinaan guru secara serius dan profesional. Paradigma yang digunakan masih menggunakan pola lama. Padahal, zaman telah berubah, namun metodologi pembelajaran lewat kegiatan penataran atau pelatihan guru tersebut tidak berubah dari gaya lama. Anehnya lagi, kepala Dinas terus berganti, namun kualitas pendidikan tidak kunjung meningkat. Selayaknya pula ketika kepala Dinas berganti, perubahan juga terjadi, menjadi lebih baik. Kenyataannya, tidak demikian.
Rendahnya kualitas dan karut marutnya soal kualitas pendidikan
di Aceh selama ini menunjukkan betapa buruknya kinerja dunia pendidikan kita di
Aceh yang tidak mampu bangkit dari keterpurukan karena berbagai alasan yang
kdangka;a tidak masuk akal. Ketika dahulu, kualitas rendah karena kurangnya
dana, namun ketika dana melimpah pun , kualitas pendidikan di Aceh dirasakan
seperri jalan di tempat. Tidak ada perubahan yang signifikan. Pemerintah daerah
dan Dinas Pendidikan pun sudah seperti orang kehilangan akal sehat. Apalagi,
kondisi masyarakat Aceh yang masih rendah budaya bacanya. Padahal, sebagai
masyarakat yang menjalankan syariat Islam, membaca adalah sebuah perintah Allah
yang diketahui atau difahami dapat membangun kualitas yang menakjubkan.
Sudah saatnya pemerintah
Provinsi dan Kabupaten Kota meluruskan kembali niat membangun dunia pendidikan
di Aceh diluruskan. Kembalikan niat itu ke track yang benar. Mungkinkah?
Jawabnya bisa saja tidak mungkin, namun harus diupayakan menjadi mungkin. Tentu
saja orientasi dari kekuasaan itu harus dikembalikan kepada hakikat
kepemimpinan yang membangun, bukan menguasai. Ini adalah kesalahan yang harus
diperbaiki oleh pemerintah Aceh, baik Provinsi maupun kabupaten kota.
15 Menit Yang
Menakjubkan itu
Nah, kiranya pemerintah
beserta jajaran Dinas Pendidikan memang tidak boleh kehilangan akal sehat
da;lam mengelola pendidikan di daerah ini. Pemerintah memang harus meluruskan
hati dalam mengelola pendidikkan. Pemerintah juga tidak boleh beralasan tidak
ada dana untuk membiayai upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM)
masyarakat Aceh lewat pendidikan. Karena sesungguhnya, tanpa dana yang besar,
asal niat untuk meningkatkan kualitas pendidikan itu besar, ada cara yang lebih
efektif dan efisien dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Aceh. Pertanyaannya adalah, apa yang bisa
dilakukan?
Yang pertama harus dilakukan
adalah meluruskan kembali niat atau political will pemerintah daerah da Dinas
Pendidikan dalam membangun pendidikan yang berkualitas. Hal kedua adalah
membuat program literasi yang mendorong dan mewajibkan semua sekolah
melaksanakan kegiatan- kegiatan literasi yang mencakup peningkatan budaya baca
dan menulis. Untuk hal ini, pemerintah bersama Dinas Pendidikan Aceh di
Provinsi dan Kabupaten /kota bisa melakukan gerakan membaca 15 menit. Gerakan
15 menit yang menakjubkan, dilakukan dengan cara mewajibkan setiap anak dan
guru membaca selama minimal 15 menit setiap pagi, sebelum pelajaran jam pertama
dilakukan. Kegiatan harus diberlakukan di setiap kelas yang di setiap sekolah
dengan melibatkan semua guru di masing-masing kelas. Setelah setiap anak dan
guru membaca minimal 15 menit tersebut, guru melanjutkan sebuah aktivitas
reproduktif dengan meminta satu orang anak setiap hari usai membaca, untuk
menceritakan kembali di depan kelas, apa yang telah dibaca. Ini penting, untuk
melatih kemampuan public speaking
anak-anak. Bila ini dilakukan setiap hari. Insya Allah kualitas pendidikan di
Aceh akan meningkat dengan sangat menakjubkan.
Agar program ini bisa
berjalan dengan baik, pemerintah daerah dan Dinas Pendidikan beserta sekolah,
harus menyediakan sejumlah buku bacaan yang menarik untk dibaca oleh anak-anak
dan guru di sekolah. Tentu saja tidak harus menyediakan perpustakaan yang
lengkap, tetapi cukup dengan menyediakan pojok baca di setiap kelas dengan buku
– buku yang berkualitas, bukan membali buku dan bacaan berdasarkan birahi
proyek ( project oriented). Mari kita bergerak sekarang juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar